Rabu, 10 Oktober 2012

Kia Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan

Yogyakarta, 26 May 2009 
 
Hari ini ke Gunung Kidul untuk acara Launching LPSE… fuih finally, after long journey akhirnya bisa launching juga. Sebagai pendamping dari program ini maka institusi gue diminta pula untuk memberikan sambutan dalam launching tersebut.
Kebetulan yang datang adalah langsung Executive Director kami sendiri. Setelah acara Launching selesai, ED minta diantar ke Makam Ki Ageng Giring dan Petilasan Ki Ageng Pemanahan. Hmm quite surprise, karena gue sendiri juga jarang datang ke tempat beginian.
Makam Ki Ageng Giring
Makam Ki Ageng Giring III merupakan makam pepunden Mataram yang diyakini oleh sementara masyarakat sebagai penerima wahyu Karaton Mataram. Makam kuna itu terletak di Desa Sada, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul, atau sekitar 6 kilometer ke arah barat daya dari kota Wonosari.
Begitu kita masuk yang kita lihat pertama adalah pemakaman umum sebagaimana biasanya.. hanya ini lebih rapi dan bersih. Setelah berjalan di tengah-tengah area pemakaman, sampailah kami pada suatu bangunan yang berada di tengah makam dan dikelilingi  oleh tembok, tempat inilah yang kami tuju yaitu makam Ki Ageng Giring. Untuk masuk kesitu kami harus melepas alas kaki. Begitu masuk, kita berjalan disutu koridor dan disana ada sebuah kamar yang terkunci dengan tulisan Ki Ageng Giring III diatasnya. Setelah menyampaikan maksud kedatangan kami ke juru kunci makam, maka Juru Kunci membukakan kamar tersebut. Begitu pintu kamar di buka, terlihatlah sebuah nisan dengan ditutup kain kafan dan terdapat bunga disekitarnya. Kami cukup beruntung, karena biasanya para peziarah dilarang mendekati nisan Ki Ageng Giring. Mungkin karena kami diantarkan oleh staff bupati Gunung Kidul ya makanya kami diperbolehkan mendekati nisan Ki Ageng Giring. Sebelum masuk kesitu, aku berdoa kepada Tuhan agar dengan aku datang ke tempat ini tidaklah menjadikan aku seorang yang musyrik. Satu persatu kami masuk kedalam makam Ki Ageng  Giring, itupun harus sambil jalan jongkok. Setelah didalam ruangan ED, Aku, Bang Henry dan 2 pegawai Pemkab Gunung Kidul yang mengantar kami, tenggelam dalam doa masing-masing. Aku tidak tahu apa isi doa mereka, yang pasti aku mendoakan agar Allah menerima amal dan kebajikan sodara2x yang sudah terlebih dahulu mendahului kami yang sekarang berbaring disitu dan memohonkan ampun atas dosa mereka.
Aku tidak tahu bagaimana menggambarkannya, saat aku sedang khusuk berdoa, aku merasa seperti bukan didalam suatu makam. Tanpa kesan angker atau menakutkan. Aku juga tidak mengerti dengan mengapa aku merasa ada yang mendekap aku dan rasanya sangat dingin. Rasa dingin itu beda dengan dingin yang biasa kita rasakan. Bukan dingin cuaca, bukan dingin AC ataupun Es. Hanya dingin itu tidak membuatku takut, justru aku merasa tenang dan damai. Yang jelas amat sangat dingin.  Namun sisi manusiawiku kemudian berontak, aku tidak ingin merasakan ini lebih lama, sehingga semakin kekhusukanku pudar rasa dingin itu semakin menjauh dariku.
Setelah beberapa saat Bang Henry mulai meninggalkan ruangan tersebut, disusul oleh Bapak yang dari Pemkab Gunung Kidul. Aku pun juga ingin ikut beranjak. Namun pada saat aku mau beranjak, Pak Sob, melarangku dan memintaku untuk duduk kembali dan tinggal disitu sebentar lagi. Setelah agak lama kemudian, Pak Sob, mulai beranjak dari ruangan itu dan akupun juga. 
Sesampainya diluar makam, ED mendekatiku dan bertanya kepadaku, “Kamu tadi lihat?” aku menjawab apa yang kurasakan didalam tadi, “Saya tidak melihat apa-apa Pak, Cuma tadi saya merasa aneh.” “Aneh Bagaimana?” Tanya ED. Jawabku,”Saya merasa seperti tidak didalam makam, dan saya merasa ada yang memeluk saya dan rasanya sangat dingn. Saya tidak tahu apa itu.” ED kemudian berkata lagi,”Kamu tahu, tadi ada yang  menyambut kita.” Aku pun bertanya,”Siapa  Pak? Ki Ageng Giring ya, seperti yang ada dalam foto tadi?” ED menjawab,”Tadi  kita disambut oleh Seorang Kakek yang sudah tua sekali dan dia mengenakan pakaian petani dengan caping dan celananya tanpa menggunakan baju atasan.” Aku bertanya kembali, “Oh ya, disebelah mana Pak? Bapak melihatnya?” ED pun menjawab, “ Dia ada tepat didepan kita.”
Yah kembali lagi, walahualam, semua kembali kepada kebesaranNya dan kita sebagai manusia tidak boleh takabur. Beberapa manusia memang diberi kemampuan untuk merasakan dan melihat hal-hal yang tidak biasa dilihat oleh manusia. Tidak semua hal yang tidak terlihat pun bisa dipahami oleh akal manusia.
Petilasan Ki Ageng Pemanahan
Perjalanan dilanjutkan ke Petilasan Ki Ageng Pemanahan. Karena konon jika datang ke makam Ki Ageng Giring harus pula datang ke petilasan Ki Ageng Pemanahan. Jaraknya lumayan jauh. . Jalan yang harus kami tempuh pun berliku-liku dan  terjal. Benar-benar tempat yang pas untuk suatu petilasan keramat. Berada di daerah Panggang, Imogiri, Desa Kembang Lampir. Mengapa disebut desa kembang lampir, atau disingkat Mbang Lampir. Dalam bahasa Jawa Kembang artinya bunga dan Lampir diambil dari kata semampir . Jadi dulu ceritanya Ki Ageng Pemanahan bermimpi agar dia bertapa dimana ada pohon yang sudah mati namun tumbuh bunganya. Akhirnya ketemulah dia dengan pohon yang dimaksud. Dan desa itu kemudian dinamakan desa kembang lampir atau sering disebut Mbang Lampir.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan melelahkan, sampailah kami di petilasan tersebut. Berbeda dengan tempat yang sebelumnya kita datangi. Tempat ini kesan angkernya lebih berasa, mungkin karena tempatnya yang di pelosok dan banyak pohon2x besarnya. Sementara rumah penduduk jaraknya lumayan jauh dari petilasan. Sebelum masuk ketempat petilasan, kami harus bertemu dengan Juru Kunci Petilasan yaitu Pak Tris. Sebagai juru kunci, beliau mendapat nama dari Sultan HB IX yaitu Suroso Sari. Sebagaimana untuk masuk tempat yang dikeramatkan, kita harus melepas alas kaki kita. Ditempat ini tidak diperbolehkan untuk memotret, sehingga gambar dari tempat tersebut tidak dapat saya tampilkan disini.
Untuk menuju ketempat petilasan, kami harus naik tangga yang lumayan tinggi dan berlumut... (moga gak ada tengu atau binatang yang ada di lumut2x). Petilasan yang dimaksud hanylah berupa tanah 1 kotak yang dikelilingi pagar dari kayu. Dan di depannya ada tempat untuk bakar dupa, dan bunga. Selain itu juga digelar karpet tipis dan beratap seng. Tempat itu sering digunakan untuk bertapa dan mencari wangsit. Menurut sang juru kunci, banyak tokoh2x penting yang datang ke tempat itu untuk meminta berkah. Jalan ke depan sedikit terdapat 1 ruangan yang tertutup rapat. Ruangan itu merupakan tempat penyimpanan pusaka dan mahkota Ki Ageng Pemanahan. Ruangan itu hanya dibuka pada hari-hari tertentu saja yaitu Senin dan Kamis. Jarak pengunjung dengan senjata tersebut juga dibatasi, tidak boleh terlalu dekat dan berjalan disebelah Baratnya. Sayang karena kami kesana bukan di hari tersebut sehingga tidak bisa masuk ke ruangan itu. Berseberangan dengan ruangan penyimpanan senjata terdapat 1 cungkup makam yang terbuat dari seng dan dikelilingi oleh 3 patung orang yang sedang bertapa. Ke-3 patung tersebut menggambarkan Ki Ageng Pemanahan dan pengikutnya. Sedangkan cungkup yang ada di situ digunakan bagi orang yang mau melakukan tirakat tapa pendem atau bahasa Indonesianya bertapa dengan dikubur didalam tanah. Ternyata persepsi kita selama ini mengenai tapa pendem ini salah. Dulu kita selalu berpikir jika orang melakukan tapa pendem maka orang tersebut akan dikubur didalam tanah seperti layaknya orang yang meinggal dan hanya ada 1 celah kecil untuk bernafas. Ternyata yang dimaksud bukan begitu. Tapa pendem disini adalah orang bertapa didalam 1 lubang didalam tanah dengan kedalaman 1 M dan tidak ditutup dengan tanah.
Pasti kalian bertanya apa yang kami lihat atau rasain ditempat ini. Kalau ED, beliau tidak menceritakan adanya penampakan sebagaimana yang dia lihat di tempat yang pertama, sedangkan aku, aku hanya merasa hatiku tidak tenang ketika berada di dekat ruang senjata dan 3 patung tersebut. ED hanya menyatakan niatnya ingin kembali ke tempat ini. Walah...
Namun kembali lagi.. Walahualam, dan Tuhanlah tetap Maha Besar dan hanya kepadaNya lah kita meminta dan Dia lah yang Maha Kuasa.
Sejarah Singkat tentang Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan
Menurut Mas Ngabehi Surakso Fajarudin yang menjabat sebagai jurukunci makam Giring, disebutkan bahwa Ki Ageng Giring adalah salah seorang keturunan Brawijaya IV dari Retna Mundri yang hidup pada abad XVI. Dari perkawinannya dengan Nyi Talang Warih melahirkan 2 orang anak, yaitu Rara Lembayung dan Ki Ageng Wanakusuma yang nantinya menjadi Ki Ageng Giring
Pencarian wahyu Kraton Mataram itu konon atas petunjuk Sunan Kalijaga kepada Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Giring disuruh menanam sepet (sabut kelapa kering), yang kemudian tumbuh menjadi pohon kelapa yang menhasilkan degan (buah kelapa muda). Sedangkan Ki Ageng Pemanahan melakukan tirakat di Kembang Semampir (Kembang Lampir), Panggang.
Menurut wisik “bisikan gaib” yang didapat, air degang milik Ki ageng Giring itu harus dim8inum saendhegan (sekaligus sampai habis) agar kelak dapat menurunkan raja. Oleh karenanya, Ki Ageng Giring berjalan-jalan keladang terlebih dahulu agar kehausan sehingga dengan demikian ia bisa menghabiskan air degan tersebut dengan sekali minum. Namun saying, ketika Ki Ageng Giring sedang di lading, Ki Ageng Pemanahan yang baru pulang dari bertapa di Kembang Lampir singgah di runahnya. Dalam keadaan haus ia meminum air kelapa muda itu sampa habis dengan sekali minum.
Betapa kecewa dan masygulnya Ki Ageng Giring melihat kenyataan itu, sehingga daia hanya bisa pasrah. Namun ia menyampaikan maksud kepada Ki Ageng Pemanahan agar salah seorang anak turunnya kelak bisa menjadi raja Mataram. Dari musyawarah diperoleh kesepakatan bahwa keturunan Ki Ageng Giring akan diberi kesempatan menjadi raja tanah Jawa pada keturunan yang ke-7.
Versi lain menyebutkan bahwa Ki Ageng Giring ketika tirakat memperoleh Wahyu Mataram di Kali Gowang. Istilah Gowang, konon berasal dari suasana batin yang kecewa (gowang) karena gagal meminum air degan karena telah kedahuluan Ki Ageng Pemanahan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa kesempatan menjadi raja Mataram pupus sudah, tinggal harapan panjang yang barangkali bisa dinikmati pada generasi ke-7.
Hal itu berarti setelah keturunan Ki Ageng Pemanahan yang ke-6, atau menginjak ke-7, ada kemungkinan bagi keturunan Ki Ageng Giring untuk menjadi raja. Apakah Pangeran Puger menjadi raja setelah 6 keturunan dari Pemanahan? Kita lihat silsilah dibawah ini:
 PEMANAHAN                                                                                           GIRING
Panembahan Senopati (1)
Panembahan Seda Krapyak (2)
Sultan Agung (3)
Amangkurat I (4)
Amangkurat II (5)
Amangkurat III (6)                                                                                  7. Puger (Paku Buwono I)

Puger menjadi raja Mataram setelah mengalahkan Amangkurat III. Jika angka 6 dianggap perhitungan kurang wajar, dan yang adalah 7, maka dapat dihitung Raden Mas Martapura yanga bertahta sekejap sebelum tahtanya diserahkan ke Raden Mas Rangsang (Sultan Agung). Jadi pergantian keluarga berlangsung setelah 7 Raja keturunan Ki Ageng Pemanahan
Bukti bahwa Puger memang keturunan Ki Ageng Giring dapat dilihat dari Babad Nitik Sultan Agung. Babad ini menceritakan bahwa pada suatu ketika Parameswari Amangkurat I, Ratu Labuhan, melahirkan seorang bayi cacat. Bersamaan dengan itu, isteri Pangeran Arya Wiramanggala, keturunan Kajoran, yang dikenal merupakan keturunan Giring, melahirkan seorang bayi yang sehat dan tampan. Amangkurat mengenal Kajoran sebagai seorang pendeta yang sakti dan dapat menyembuhkan orang sakit. Oleh karena itu, puteranya yang cacat dibawa ke Kajoran untuk dimintakan penyembuhannya. Kajoran merasa bahwa inilah kesempatan yang baik untuk merajakan keturunannya. Dengan cerdiknya, bayi anak Wiramanggala – lah yang dikembalikan ke Amangkurat I (ditukar) dengan menyatakan bahwa upaya penyembuhannya berhasil.
Sudah ditakdirkan bahwa Amangkurat III, putera pengganti Amangkurat II, berwatak dan bernasib jelek, sehingga terbukalah jalan bagi Pangeran Puger untuk merebut tahta. Sumber lain menceritakan silsilah Puger sebagai berikut:
GIRING                                                                      Panembahan Kajoran

PUTERI                                                                    Pangeran Wiramenggala
      PUGER
Dengan demikian benarlah bahwa pada urutan keturunan yang ke-7 keturunan Ki Ageng Giring – lah yang menjadi raja, meskipun itu diambil dari garis perempuan. Namun ini cukup menjadi dalih bahwa Puger alias Paku Buwana I adalah raja yang berdarah Giring.


Comment From a Friend :
jasmine2008 wrote on May 28, '09
membaca tulisan ini seperti nya dalam seminggu ini aku belajar sejarah kerajaan mataram, setelah seminggu kemaren ke makam kota gede.. di ceritai oleh juru kunci mengenai ki ageng pemanahan dan ki ageng giring juga...

 

1 komentar: