Minggu, 14 Oktober 2012

Merah Putihku Merah Putihmu

15 November 2011

Pagi itu, Gunung Emansiri masih tetap tegak kokoh berdiri setia menjaga Kampung yang berpenduduk sekitar 120 orang itu. Kabut tipis masih tampak meliputi Gunung Emansiri saat kulangkahkan kakiku secara perlahan meniti jalan Kampung yang masih tampak lengang. Sesekali kami berpapasan dengan penduduk setempat yang dengan ramah selalu menyapa dengan mengucap salam, “selamat pagi..” sapaan yang hampir tidak pernah kutemui di kota aku berasal jika kita berpapasan dengan orang lain. Ya… riuhnya kota seolah menenggelamkan sapaan yang ternyata mampu menyejukkan hati. Sekejap aku teringat dengan yang aku temui di Jepang yang juga melakukan hal yang sama saat berpapasan dengan orang.. sapaan ohayoo gosaimasu, komban wa.. ternyata, hal-hal kecil seperti sapaan bisa membuat hati kita bahagia. Tanpa kami sadari, langkah kami hampir mencapai ujung Kampung, kami pun memutuskan untuk berbalik kembali menuju rumah singgah kami di Kampung tersebut.. Sebuah rumah singgah yang bagus menurut ukuran kampung itu.. Dalam perjalanan kembali kami, langkah kami tertarik menuju kearah bangunan yang berdiri megah dan kokoh. Tampak bendera merah putih berkibar ditiang yang tertancap ditengah pekarangan bangunan yang ternyata adalah sebuah Sekolah Dasar. Kami sempat tertegun, karena ternyata ditempat yang terpencil ini ada sebuah sekolah yang bagus.. lebih bagus dari beberapa SD di Kota ku, bahkan beberapa media sering memberitakan adanya sekolah yang rubuh saking tuanya atau tidak memiliki dana untuk perbaikan dan perawatan sekolahnya.. Kami pun tergerak untuk melihat kelas demi kelas yang ada disitu.. Ada papan tulis, meja dan bangku siswa maupun guru, globe, dan setumpuk buku pelajaran yang tampak masih baru tersusun didalam almari kelas. Langkah kami sampai salah satu sudut bangunan sekolah. Tampak beberapa anak sedang bermain. Ada 3 orang anak yang mengenakan seragam pramuka, dan 2 orang mengenakan pakaian bukan seragam. Kami menduga bahwa mereka adalah murid sekolah tersebut. Tebakan kami ternyata benar, mereka adalah murid sekolah tersebut. Rasa penasaran kami membawa kami mendekati anak-anak tersebut.. dan pertanyaan demi pertanyaan mengalirlah dari mulut kami, dari jam berapa mereka masuk sekolah? Mengapa belum masuk? Mana gurunya? Kelas berapa mereka? Dengan setengah berbisik mereka menjawab, beberapa lari menghindar.. Berikut jawaban singkat atas pertanyaan kami.. 1) sekolah mulai jam 08.00 2) guru belum datang 3) Guru ke kota dan 4) ada yang kelas 1, 2, 4, 5 dan 5. Satu-satunya guru yang ada di sekolah adalah penduduk setempat yang bertugas menjaga dan membuka pintu sekolah. Bagaimana dengan guru yang lain? Mengapa mereka ke kota? Apakah ada keperluan khusus, rapat misalnya..? kapan mereka kembali?.. Dengan wajah lugu mereka menjawab berbagai pertanyaan kami.. bahwa guru yang lain semua sedang ke kota karena sekolah dan tidak tahu kapan mereka kembali. Aku jadi teringat saat dulu masih sekolah, setiap ada guru yang tidak dapat hadir mengajar alias absent semua pasti bersorak karena berarti tidak ada pelajaran dan kami bisa pulang lebih cepat. Namun disini, berbanding terbalik, murid2x ini setiap hari datang kesekolah dengan menggunakan seragam tanpa ada guru yang mengajar. Kondisi ini seperti menohok kami… sekejap aku melirik arloji di tangan kiriku.. well.. kami masih punya waktu 1 jam sebelum kami berdua (aku dan mas adam) harus menjadi fasilitator sebuah kegiatan yang melibatkan berbagai aparat pemerintah Kampung di daerah tersebut. Secara reflek aku meminta anak-anak tersebut masuk kedalam kelas dan duduk, semua campur dari yang kelas 1 pai 6.. aku tidak tahu apa yang harus kusampaikan didepan kelas.. secaranya aku bukanlah seorang guru.. well doesn’t matter yang penting semangat berbaginya… meski belum mandi, dan masih menggunakan baju yang ku pakai tidur semalam dan mas adam juga masih dengan sarungnya, jadilah kami berdua berdiri didepan kelas itu.. Mata pelajaran apa yang harus kami sampaikan..? pertanyaan itu sempat menjadi diskusi kecil kami saat kami akan masuk ke kelas.. Hal pertama yang terbersit dikepalaku adalah maraknya pemberitaan mengenai pulau ini, tentang diskriminasi, eksploitasi sumber daya alam pulau ini yang mereka merupakan bagian dari bangsa ini, bangsa Indonesia.. akhirnya aku mengawali dengan hal dasar.. jadi tema 1 jam kedepan adalah Mengenal Indonesia. Sebelum kami mulai, aku dan mas adam mulai memperkenalkan diri kami, dan beralih ke teman-teman kecil kami… hampir semua sama, secara lirih, hampir tidak kedengaran dan dengan kepala tertunduk menyebutkan nama mereka.. cukup butuh waktu untuk meminta mereka dan menanamkan kepada mereka rasa percaya diri dengan secara lantang menjawab pertanyaan dengan menatap wajah kita. Aku awali tema belajar bersama ini.. (aku lebih suka menyebutnya belajar bersama daripada mengajar) dengan pengenalan dimana mereka tinggal dari mulai Kampung, Distrik kemudian Kabupaten.. sampai disini mereka masih bisa menjawab dengan baik. Namun saat kami lanjutkan dengan pulau, nama Negara kita serta lambang Negara kita.. tidak semuanya tahu.. Ironis.. bagaimana bisa anak2x bangsa kita tidak tahu nama dan lambang negaranya… padahal di tempat itulah diceritakan turun temurun, keberadaan burung Garuda yang menjadi lambang Negara kita. Tahap kedua kami mulai mengenalkan kembali sila-sila yang ada didalam Pancasila, apa arti dan makna yang terkandung didalamnya. Sebenarnya, jika kita semua kembali pada sila-sila yang ada dalam Pancasila, maka semua kekisruhan yang ada di Negara kita harusnya tidak terjadi. Kerukunan antar umat beragama, mengedepankan kemanusian yang adil dan beradap, menjaga persatuan dan kesatuan, mengedepankan musyawarah, serta mengakui persamaan hak azazi dan perlakuan yang adil. Saat kami memulai kelas kami, sesaat kemudian, beberapa kali kepala-kepala mungil tampak mengintip dibalik pintu kelas mengharapkan ingin masuk. Seketika kelas langsung penuh… terharu sekali kami melihat semangat tinggi mereka untuk belajar. Apa yang kami temui ini mungkin merupakan salah satu potret buram pendidikan kita, teman-teman kecil kami tadi bukanlah menandakan mereka tidak pintar.. bukan, hanya mereka tidak memiliki kesempatan yang besar seperti kita. Semangat dan kemauan yang tinggi untuk terus belajar, untuk terus maju semua mereka miliki… Lantas apakah hanya gelontoran dana dari pusat yang mereka butuhkan? Apakah alasan geofrafis menjadi pembenaran untuk menghambat sebuah pengabdian dan dedikasi? Satu jam berlalu begitu cepat.. namun 1 jam itu sudah memberi kami banyak pelajaran.. kami belajar banyak dari teman-teman kecil kami.. semangat, kemauan tidak luntur meski dengan keterbatasan yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar