Jumat, 21 September 2012

Ray...

19 Maret 2009

Cerita dibawah diambil dari petikan cerpen Wahyu W Basjir yang sangat saya suka..
Dedicated to my Great Partner..

-------------------------------------------------------------------------------------

Menulis memberinya kebebasan. Tiap kali otaknya dibebat oleh rasa jenuh, ia menenggelamkan dirinya ke ruang tanpa batas. Dari halaman belakang rumahnya, ia bisa pergi ke manapun. Mengapung di antara awan dan bintang-bintang. Menyelam ke dasar laut yang gelap. Menyuruk di antara belukar dan hutan belantara. Tersesat di kota yang kumuh, atau yang hiruk pikuk. Sejak lama ia sadar; ia bisa memiliki dunia macam apapun yang inginkan. Dari yang terliar, sampai yang paling sunyi. Ia bisa menciptakan apapun, mengundang siapapun untuk singgah.

Dan pada satu sore yang berangin, duduk di hadapannya Ray; perempuan yang paling sering mengunjungi semestanya.

Ditatapnya wajah perempuan itu lekat-lekat. Dia puaskan mata dan hati yang selama lima tahun terakhir memendam kekaguman kepada segala yang tersimpan di sepasang mata itu. Mata yang teduh namun memberi terang. Bagai cahaya kunang-kunang, tulis Wib dalam puisi yang ia persembahkan kepada perempuan itu. Kau makin kurus, Ray. Hatinya berbisik sendiri.

“Aku mengerti alasanmu,” bibir Ray bergerak pelan. Ia hanya bergumam. Tapi itu cukup bagi Wib untuk tahu yang dia katakan. Setelah berkali-kali melewati waktu bersama Ray, ia mulai terbiasa membaca gerak bibir perempuan itu. Hal itu terjadi seperti bersamaan dengan tumbuhnya pengertian Ray terhadap kecintaan Wib kepada dunianya yang tanpa batas itu. “Itu caramu untuk bebas dari belenggu alam nyata ini,” kata Ray, sekian tahun lalu, setelah beberapa waktu mengenal lelaki itu dan membaca naskah-naskahnya. Ia tahu benar, Wib sesekali menulis kisah surealis yang absurd. Tetapi ia lebih sering berkisah tentang hal-hal yang serba masuk akal, fragmen dan komedi, roman dan tragedi dalam kehidupan manusia.

“Tapi mereka mengenaliku sebagai karakter dalam cerpen-cerpenmu,” terdengar pelan sekali ucapan itu keluar dari mulut Ray. Terasa ada yang bergejolak di benaknya. Ingin ia menyanggah. Tidak mungkin, Ray. Tidak mungkin. Tapi, kata-kata yang nyaris meluncur dari ujung lidah mendadak hilang di rongga mulutnya.

Dalam hati ia mengakui, Ray adalah energi yang membantunya melahirkan puisi, atau cerpen, atau catatan refleksi. Dan setiap kelahiran itu adalah percintaan yang membuatnya melayang. Memberi sensasi. Ekstasi. Baginya, Ray adalah candu yang selalu membuatnya ketagihan.

Dan Ray tahu. Lebih dari pengakuan laki-laki itu, ia menemukan namanya ditulis tersamar pada berbagai naskah, terutama puisi, yang lahir dari kepala Wib. Sesekali ia merasa jengah. Bukan karena malu atau merasa tersanjung berlebihan. Sebaliknya, ia kerap menemukan keindahan pada puisi Wib yang dipersembahkan untuknya. “Dengan cinta, Ray,” ujar lelaki itu satu ketika, “siapapun dapat melukis dengan puisi.”

Hening menggantung di udara sore yang lembab. Aroma lembut daun pandan di pinggiran kolam singgah di penciuman mereka. Gemericik air dari pancuran kecil yang jatuh di mulut genta bambu terdengar nyaring. Setiap kali terisi penuh, genta itu terjungkit. Ujungnya yang terbuka bergerak turun menumpahkan air yang ada di dalamnya ke permukaan kolam. Setelah kosong, genta itu akan terjungkit dengan arah berkebalikan. Bagian beruas genta bambu itu akan memukul palang besi yang terpasang di bawahnya menciptakan suara benturan yang sedikit berat. Bambu basah memang tidak akan memberikan suara nyaring ketika dipukul.

Tok…tok…tok…berirama. Lambat. Tenang, tak pernah merusak ketenangan rumah itu; sesuatu yang disukai Wib ketika dia ingin menyendiri. Saat-saat ia membayangkan kehadiran Ray. Saat ia membangun khayalannya tentang dunia yang berbeda. Dunia yang ia jalani bersama Ray. Di pikirannya, pada imajinasinya, dalam mimpi-mimpinya saat terjaga. Pada saat seperti itu, ia akan betah berlama-lama di teras belakang. Ditemani gemericik pancuran itu, dengan suara genta yang berat namun teratur.

Dari tempat mereka duduk, kunang-kunang tampak beterbangan di atas sawah. Bayangan pucuk-pucuk padi yang bergerak oleh tiupan lembut angin malam membentuk citra ombak yang tenang. Dan gerombolan kunang-kunang itu menjadi cahaya yang menari di atasnya. Sungguh sebuah pertunjukan yang tak pernah Ray saksikan dalam kesehariannya yang kosmopolitan.

Seperti berjanji, tatapan mereka bertemu setelah terdiam beberapa lama, menatap ke hamparan sawah yang mengelilingi rumah Wib. “Kunang-kunang,” Ray bergumam. Sesuatu berdesir di hatinya menatap serangga berlampu itu.

“Iya, Ray,” laki-laki itu menyahut. “Aku tak pernah kesepian di sini, selama mereka tetap ada di sana.”

Sekejap pembicaraan mereka beralih pada serangga-serangga itu. Berputar-putar. Mulai dari kekhawatiran Wib terhadap populasi kunang-kunang yang makin tipis, pestisida, pertanian organik sampai fair trade. Sebagai anak petani, ia tahu benar bagaimana industri telah merusak kehidupan petani dan kearifan mereka dalam bertani. Ia tahu kekuasaan modal dalam industri itulah yang membunuh ular dan kodok sehingga tikus dan nyamuk merajalela menjadi hama dan pembawa wabah.

Bagi Ray, semua itu bukan hal baru. Tapi perhatiannya utuh. Ia tak akan mengecewakan Wib sekalipun hanya menjadi pendengar. Bukan karena ia tidak ingin merusak suasana. Sebaliknya, ia justru sangat menikmati situasi ketika lelaki 40 tahun itu bercerita, atau mengajaknya berdiskusi. Dari dua kehidupan yang berbeda, kontras yang nyata, mereka adalah pasangan belajar yang saling menghormati. Bukan hanya itu, berdiskusi dan saling bercerita adalah bagian yang paling menggairahkan dalam hubungan mereka.

Cinta yang aneh. Terlalu aneh untuk tidak ditertawakan. Mereka mungkin akan mengatakan bahwa bukan itu yang mengikat mereka sejauh ini. Mereka memang saling memberi perhatian. Saling peduli. Saling membantu. Tidak ada yang ingin mereka lakukan selain semua itu. Sebagai perempuan kosmopolitan, figur dengan nama baik yang dikenal banyak orang, Ray adalah seorang pejalan. Secara harfiah maupun simbolik. Ia banyak melakukan perjalanan antar kota, lintas negara, budaya. Tapi ia juga seorang pemikir yang antusias. Perenung yang kuat hati. Ia menulis banyak catatan tentang kehidupan, tentang perempuan. Ia berbagi dengan banyak orang tentang pikiran-pikirannya, tentang harapan-harapan masa depannya.

Tapi hanya kepada lelaki itu Ray berbicara tentang keresahan pribadinya. Sesuatu yang jarang ia lakukan. Ia lebih banyak bekerja untuk kepentingan orang lain. Ia cenderung mengorbankan dirinya sendiri. “Lilin,” tutur Wib satu ketika, “kaulah itu.”

Kepada Wib, ia menumpahkan hampir seluruh kegelisahan yang tersimpan di kepalanya. Di lubuk hatinya. Yang terungkap dalam setiap isakan kecil saat ia terbangun dari mimpi buruk tengah malam. Tentang ketakutannya. Tentang intrik di kalangan koleganya. Tentang rumor dan ketegangan yang kerap membuatnya menangis.

Pada saat mereka tidak bisa saling berjumpa, Ray akan menulis panjang untuk Wib. Setiap kali itu terjadi, Wib akan memberikan perhatian sebanyak yang ia butuhkan. Ia akan selalu ada untuk melakukan apapun bagi Ray. “Hanya uang dan kehadiran yang tidak bisa aku berikan untukmu, Ray,” katanya suatu ketika.

Untuk Ray, cerpen dan puisi Wib memang punya arti tersendiri. Memang, hanya sesekali ia menemukan keindahan di sana. Tapi, ia selalu menemukan sentuhan sangat pribadi pada karya lelaki itu. Terlebih pada beberapa puisi Wib.
“Kamu seperti sengaja berbicara kepadaku,” tutur Ray dalam satu gumam pelan.
“Memang.”
“Aku bisa merasakannya.”
“Terima kasih,” Wib menyambut dengan nada datar. Sedatar ungkapan cintanya kepada Ray.

Jauh sebelum sore itu, Ray tak pernah keberatan terhadap satu tekspun yang ada dalam naskah-naskah Wib. Ia menganggap memang itulah cara dia mencintainya. “Kamu yang membuat aku menulis lagi,” ujar Wib dalam pengakuannya beberapa saat setelah pertemuan pertama mereka.

Belakangan ini cerpen Wib mulai menghantui pikiran Ray. Karakter dalam cerpen Wib makin mirip dengannya. Tapi bukan kemiripan itu yang mengganggunya. Dramatisasi cerita dan distorsi terhadap karakter itu, kata Ray, “Membuat orang menduga itulah yang terjadi antara kita.”

---

Bukan sebuah pertemuan yang menyenangkan. Betapapun rindu menggelayuti fikiran, kehadiran Ray yang semula sangat dia tunggu akhirnya benar-benar ingin ia lupakan. Secepatnya.

Tapi raut kecewa perempuan itu terus membekas di kepalanya. Ada perasaan yang aneh. Sesalkah? Wib tidak tahu. Kecewa? Ia tak yakin. Lelaki itu hanya tahu, sejak pertemuan terakhir itu, Ray tidak akan pernah lagi menemuinya.
Kecuali dalam dunianya yang tanpa batas itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar